Deklarasi blueprint Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
yang ditandatangani oleh sepuluh kepala negara di Singapura pada November 2007
menjadi sebuah bukti komitmen yang kuat dari negara-negara anggota ASEAN untuk
memulai sebuah langkah integrasi dari segi ekonomi. Meskipun ada tiga pilar yang dibangun dalam
Komunitas ASEAN, hal yang paling memungkinkan untuk memulai proses integrasi di
kawasan Asia Tenggara adalah dari pilar ekonomi. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dalam sebuah pidato perayaan 38 tahun ASEAN On Building the ASEAN Community:
the Democratic Aspect”, menyatakan ASEAN sudah merencanakan hal-hal besar dan
signifikan, khususnya dalam bidang ekonomi, untuk membangun kawasan Asia
Tenggara sebagai sebuah pasar besar yang potensial untuk meraup keuntungan dan
stabilitas ekonomi kawasan. Ini yang menjadi dasar mengapa integrasi harus
dimulai dari segi ekonomi.
Selain itu, belajar dari sejarah pendirian
beberapa organisasi regional, seperti Uni Eropa, hal yang paling memungkinkan
untuk terintegrasi secara mudah adalah dari pilar ekonomi karena tujuan yang
hendak dicapai oleh berbagai negara serupa. MEA menjadi sebuah proses integrasi
yang memerlukan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat untuk meningkatkan
kompetensi perekonomian di Asia Tenggara dan menjamin kemajuan kualitas dari
berbagai sektor ekonomi negara-negara anggota ASEAN.
Bagi Indonesia, keberadaan MEA menjadi babak
awal untuk mengembangkan berbagai kualitas perekonomian di kawasan Asia
Tenggara dalam perkembangan pasar bebas menjelang tahun 2015. MEA menjadi dua
sisi mata uang bagi Indonesia: satu sisi menjadi kesempatan yang baik untuk
menunjukkan kualitas dan kuantitas produk dan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia kepada negara-negara lain dengan terbuka, tetapi pada sisi yang lain
dapat menjadi titik balik untuk Indonesia apabila Indonesia tidak dapat
memanfaatkannya dengan baik.
Peranan tenaga kerja dalam memproduksi sampai
mendistribusikan produk dan jasa akan menjadi penting. Dalam era persaingan
global, Indonesia harus memperhatikan tenaga kerja dan produksi yang tidak
hanya sekadar soal kuantitatif, tetapi juga sisi kualitatif yang perlu
diperhatikan. Daya saing Indonesia yang masih terhitung rendah dapat menjadi
‘batu sandungan’ dalam perannya di MEA.
Permasalahan yang ada dari sisi tenaga kerja
pun tidak terlepas dari kualitas yang rendah, seperti tingkat pendidikan dan
keahlian yang belum memadai. Seperti dikutip dari Buletin Komunitas ASEAN bulan
Maret, kesempatan bagi tenaga kerja baru di Indonesia pun 22% lebih buruk
dibandingkan Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Ini juga akan berdampak pada
perkembangan riset dan inovasi yang baru dalam meningkatkan daya saing yang
lebih besar. Perkembangan riset dan inovasi merupakan bagian yang penting dalam
meningkatkan kompetensi persaingan di tingkat regional dan tingkat global.
Dalam MEA 2015, tenaga kerja sebagai aktor yang penting dalam produksi, perlu
menyadari bahwa persaingan pada tingkat regional akan semakin besar dan
kompetitif. Tahun 2015 akan segera datang dan mau-tidak mau setiap orang yang
ada dalam regional Asia Tenggara harus siap menghadapi MEA, khususnya Indonesia.
Kuantitas tinggi, kualitas rendah
Dari data yang dirilis oleh Badan Pusat
Statistik (BPS), tercatat tingkat partisipasi angkatan kerja pada bulan
Februari 2014 sebesar 69,17%, meningkat 2,4% dari bulan Agustus 2013. Sementara
itu, tingkat pengangguran terbuka turun sebesar 0,47% dari 6,17% pada bulan
Agustus 2013 menjadi 5,70% pada Februari 2014. Namun, dengan menurunnya tingkat
pengangguran terbuka ini bukan berarti Indonesia telah mengalami kemajuan dan
dapat dinyatakan siap dalam menyikapi MEA 2015 karena berbagai macam
permasalahan domestik berkaitan dengan tenaga kerja masih belum dapat
diselesaikan, salah satunya adalah Indonesia belum mampu menghasilkan tenaga
kerja yang memiliki kualitas tinggi untuk mampu bersaing di pasar global dan
mencegah banjirnya tenaga kerja yang lebih terampil dari negara lain.
Permasalahan lainnya adalah diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita, honor
yang masih belum memadai, permasalahan perlindungan tenaga kerja, dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa persaingan dalam MEA 2015
tidak sekadar sebuah negara mampu untuk menghasilkan produk yang memiliki
kualitas dengan standar internasional, tetapi juga mampu memproduksi tenaga
kerja yang mampu berkompetisi di kancah regional dan global. Indonesia, sebagai
negara dengan penduduk terbesar di Asia Tenggara, mampu menghasilkan tenaga
kerja dalam kuantitas yang besar. Dari data yang dilansir Tempo, jumlah tenaga kerja Indonesia pada
Februari 2014 sebesar 125,3 juta orang dengan jumlah pekerja 118,2 juta orang.
Namun, ini tidak dapat diimbangi dengan kualitas pendidikan yang dimiliki oleh
para pekerja. Mayoritas tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan sekolah
dasar (46,8%) dan lebih banyak bekerja pada sektor informal (59,81%).
Dari data-data ini, dapat disimpulkan tenaga
kerja Indonesia masih banyak secara kuantitatif, tetapi belum memiliki kualitas
yang memadai. Simpulan ini didukung oleh Ekonom Senior Bank Dunia, Vivi Alatas,
seperti dikutip <em>merdeka.com</em> yang menyatakan Indonesia
harus mampu mendorong diadakan pelatihan keterampilan karena mayoritas tenaga
kerja Indonesia kurang dalam kecerdasan sikap, kemampuan berbahasa Inggris, dan
pengoperasian computer.
Namun, sikap yang tidak kalah pentingnya dalam
menyikapi MEA 2015 adalah peningkatan daya saing yang memiliki mutu yang baik
dan kesadaran dari setiap individu sebagai bagian dari MEA itu sendiri. Bagi
seorang tenaga kerja, peningkatan daya saing dalam MEA merupakan elemen yang tidak
dapat dilepaskan karena efisiensi dan kompetensi yang dimiliki seorang tenaga
kerja akan mempengaruhi hasil barang ataupun jasa, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
Jika sebuah negara memiliki daya saing yang
tinggi dan mampu berkompetisi di kancah regional dan global, maka dapat
dipastikan tenaga kerja yang dimiliki telah mampu mencapai standarisasi dan
memiliki reputasi yang patut diperhitungkan. Untuk mencapai standarisasi,
setiap tenaga kerja terdidik perlu mendapatkan Mutual Recognition Agreement MRA) sebagai sertifikasi. Sebagai SDM yang
potensial, tenaga kerja Indonesia perlu peningkatan yang lebih, khususnya dalam
bidang-bidang keilmuan.
Dukungan dari pemerintah pun juga tidak dapat
dilepaskan untuk memberikan kesadaran bahwa MEA merupakan integrasi yang tidak
lagi mungkin untuk dihindari dan satu-satunya cara untuk dapat bersaing di
tingkat regional adalah kemampuan yang tinggi, baik dari bidang <em>hard
skill</em> maupun soft skill. Hal
ini dibutuhkan karena MEA 2015 akan memberikan keleluasaan bagi seluruh
masyarakat di negara-negara anggota ASEAN untuk bekerja secara bebas di luar
negaranya.
Apabila tenaga kerja yang dimiliki oleh
Indonesia belum mampu untuk memberikan kualitas yang memadai meskipun memiliki
kuantitas yang begitu banyak, maka persaingan dalam dunia pekerjaan akan
semakin sulit untuk dihadapi, khususnya saat bersaing dengan tenaga kerja dari
Singapura, Filipina, dan Malaysia yang mana telah memiliki kemampuan medium
skilled.
Kualitas yang rendah yang dimiliki oleh tenaga
kerja Indonesia saat ini bukan berarti Indonesia harus mundur dari persaingan
tenaga kerja pada era MEA 2015. Justru sebaliknya, keberadaan MEA harus
dijadikan bagian dari mendorong kualitas dari segi pendidikan dan kemampuan
agar tenaga kerja Indonesia pun dapat bersaing dalam memperebutkan lapangan
pekerjaan di negara sendiri dan negara anggota ASEAN lainnya.
Melalui proses integrasi yang dimulai dari
pilar ekonomi, Indonesia, melalui SDM yang dimilikinya harus mampu menunjukkan
performa yang besar sehingga ke depannya Indonesia dapat memiliki jiwa dengan
daya saing yang besar di tingkat Asia Tenggara maupun di tingkat internasional.
Dengan adanya kualitas yang memadai, tenaga kerja Indonesia akan dapat
memperbaiki permasalahan-permasalahan yang terjadi yang berkaitan dengan hal
tersebut, seperti honor yang rendah dan keberadaan tenaga kerja outsourcing.
Perlu disadari pula bahwa ini diperlukan
peranan dari berbagai pihak, salah satunya adalah tenaga kerja itu sendiri. MEA
diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi publik di regional Asia
Tenggara untuk mewujudkan integrasi yang berkelanjutan sehingga tidak hanya
melahirkan individu-individu yang berdedikasi, tetapi juga dapat
mengimplementasikan nilai-nilai yang baik Bukan hanya tanggung jawab pemerintah.
MEA merupakan gagasan dari kesepuluh negara
Asia Tenggara untuk mewujudkan perekonomian yang lebih baik pada tahun 2015
mendatang. Keberadaan MEA tidak dapat dilepaskan dari partisipasi seluruh
lapisan masyarakat untuk terlibat dan ikut serta dalam terselenggaranya
integrasi yang berkelanjutan sehingga Asia Tenggara menjadi kawasan yang
strategis dalam bidang perekonomian. Peranan pemerintah memang menjadi bagian
yang paling penting dalam meningkatkan kualitas SDM agar tenaga kerja Indonesia
memiliki kemampuan yang dapat disetarakan dengan negara-negara lain. Landasan
utama yang dimiliki pemerintah untuk mendorong kualitas adalah membuat standar
untuk seluruh SDM di Indonesia dengan membuat undang-undang yang dapat
memperjelas apa yang perlu dilakukan oleh setiap masyarakat dalam menyongsong
MEA 2015.
Meskipun peran dominan dalam meningkatkan
kualitas menjadi milik pemerintah, bukan berarti seluruh tanggung jawab berada
di tangan pemerintah. Justru sebaliknya, perlu kesadaran dini bahwa efek dari
MEA akan dirasakan langsung oleh masyarakat dan tanggung jawab untuk
berpartisipasi dan mempersiapkan diri menjelang 2015 menjadi milik bersama.
Pemerintah tidak dapat menjalankan MEA 2015 dengan baik apabila tidak ada
partisipasi dari masyarakat, khususnya tenaga kerja yang akan bermain di
sektor-sektor penting untuk menunjukkan kualitas yang baik.
Demikian pula sebaliknya. Tenaga kerja pun
harus mau memiliki daya juang yang tinggi untuk memiliki berbagai macam
keterampilan agar tidak tertinggal dengan negara lainnya. Tenaga kerja sebagai
subjek yang penting dalam kegiatan ekonomi akan memiliki pengaruh yang besar
ketika MEA telah dijalankan. Apabila tenaga kerja Indonesia tidak mampu
berkompetisi dengan tenaga kerja dari negara-negara anggota ASEAN lainnya, maka
akan muncul permasalahan lain yang lebih kompleks.
Menyongsong MEA 2015 bukan harus dilakukan
dengan tergesa-gesa karena waktu yang sebentar lagi akan tiba, tetapi perlu
sinergi yang besar untuk menyatukan seluruh lapisan masyarakat untuk ikut serta
dan bekerja sama untuk mewujudkan stabilitas kawasan. Tenaga kerja pun perlu
memiliki daya saing yang tinggi sehingga persaingan dalam tingkat regional pun
akan dapat dilalui agar memiliki kesempatan untuk bersaing di tingkat
internasional. MEA 2015 menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan
kompetensi yang sesungguhnya dalam kualitas dan kuantitas tenaga kerja yang
dimilikinya.
MEA: langkah awal tenaga kerja Indonesia menuju
tingkat global
Etos kerja yang tinggi merupakan salah satu
faktor mengapa Jepang dapat bangkit dari keterpurukan pasca krisis moneter yang
terjadi pada tahun 1998. Belajar dari Jepang yang juga sama-sama mengalami
dampak dari krisis tersebut, Indonesia pun butuh semangat kerja yang tinggi dan
kemampuan untuk belajar yang besar. Dengan adanya MEA 2015, Indonesia dapat
menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai peluang untuk mempromosikan kualitas
dan daya saing yang mampu berkompetisi di area regional.
MEA 2015 bukanlah senjata untuk memantik tenaga
kerja Indonesia terpuruk di regionalnya sendiri, melainkan sebaliknya, agar
tenaga kerja Indonesia dapat bertukar pengalaman dari negara-negara anggota
ASEAN lainnya. Dengan sebagian besar penduduknya yang berusia produktif, akan
sangat sulit membendung tenaga kerja Indonesia untuk bekerja dan berkompetisi
dalam MEA 2015. Namun, kualitas tenaga kerja Indonesia yang masih
bermayoritaskan pada tenaga kerja informal akan menjadi masalah dalam
menghadapi MEA 2015 karena akan ada pembatasan pada tenaga kerja informal.
Akses terhadap kehidupan sosial, seperti
pendidikan dan kesehatan, merupakan faktor yang dominan dalam mendorong
kualitas tenaga kerja Indonesia menjelang MEA 2015. Namun, apabila akses itu
tidak digunakan oleh tenaga kerja dengan baik, maka pembangunan kualitas SDM di
Indonesia akan semakin sulit.
Dengan adanya MEA 2015, kesadaran akan
pentingnya kualitas dalam hidup bermasyarakat menjadi bagian yang tidak
terpisahkan untuk mendorong daya saing dan nilai kompetensi dalam setiap SDM.
Akan menjadi sia-sia apabila kita yang juga sebagai bagian dari MEA 2015 hanya
sibuk untuk menggerutu dan menyalahkan pemerintah apabila di dalam diri kita
pun tidak ada keinginan untuk bersaing secara regional. MEA 2015 harus mampu
dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai media mempromosikan diri dalam kancah
regional dan “tempat latihan” untuk tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di
kancah internasional dengan kualitas yang lebih dari negara-negara anggota
ASEAN lainnya.
Kesimpulan
Permasalahan yang ada dalam tenaga kerja
Indonesia saat ini memang tidak dapat dihindari. Namun, permasalahan itu bukan
harus menjadi alasan untuk menghentikan persaingan di tingkat regional dalam
MEA 2015. Justru sebaliknya, Indonesia harus melihat peluang yang terbuka untuk
memperbaiki kualitas SDM yang ada dengan meningkatkan daya saing, menyediakan
pendidikan dan kesehatan yang memadai, dan memberikan edukasi terhadap
pentingnya MEA 2015 itu sendiri.
Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang
sangat baik ini, kualitas SDM masih perlu diperbaiki. Tenaga kerja Indonesia
tidak bisa hanya berkelindan sebagai tenaga kerja informal karena kualitas yang
belum memadai. Dalam hal ini, pemerintah memang berpengaruh sangat besar untuk
mendorong kemajuan kualitas itu, tetapi tanpa adanya kesadaran dari setiap
individu sebagai bagian dari MEA 2015 akan sangat sulit mencapai target yang
hendak dicapai oleh Indonesia. MEA 2015 harus dijadikan media bagi tenaga kerja
Indonesia untuk belajar bersaing di tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat
Asia Tenggara.
No comments:
Post a Comment